TEMANTEN KUCING, TRADISI UNIK DARI KOTA MARMER



Setiap generasi manusia adalah pewaris kebudayaan. Perkembangan manusia dibentuk oleh kebudayaan yang melingkunginya, memang dalam batas-batas tertentu manusia mengubah dan membentuk kebudayaannya, tetapi pada dasarnya manusia lahir dan besar sebagai penerima kebudayaan dari generasi yang mendahuluinya. Salah satu warisan budaya dari Tulungagung yaitu Temanten Kucing. Temanten Kucing merupakan ritual yang sangat unik karena menikahkan sepasang kucing dengan harapan meminta hujan pada yang Maha Kuasa.
Upacara Adat Temanten Kucing merupakan tradisi masyarakat Desa pelem Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung. Upacara ini merupakan tradisi di musim kemarau jika desa dilanda kekeringan. Dengan ritual ini masyarakat berharap Tuhan menurunkan hujan.
Ritual Temanten Kucing ini tak bbisa dilepaskan dari upaya warga untuk memohon turunnya hujan ketika musim kemarau panjang di Desa Pelem. Desa Pelem adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Campurdarat, yaitu wilayah selatan Kabupaten Tulungagung. Alasan adanya ritual ini adalah penduduk Desa Pelem yang sebagian besar menjadi petani membutuhkan air hujan sebagai sumber pengairan utama dari lahan pertanian Desa Pelem. Musim kemarau adalah hambatan dan penghalang para petani untuk menanam padi. Sehingga jika terjadi kemarau panjang tentu penduduk tidak dapat melakukan kegiatan pertanian di lahan tersebut.
Asal muasal ritual manten kucing itu mempunyai sejarah panjang, yang hingga sekarang masih dipercaya oleh masyarakat setempat. Dahulu, di desa pelem hidup seorang demang yang dikenal dengan sebutan Eyang Sangkrah. Ia adalah sosok linuwih dalam ilmu kejawen. Eyang Sangkrah memiliki seekor kucing condromowo (bulunya tiga warna) jantan dengan sepasang mata istimewa. Upacara ritual “Temanten Kucing” dirintis ratusan tahun silam. Awalnya, daerah Pelem dilanda kemarau panjang yang membuat warga kebingungan mendapatkan air. Sebagai seorang pemimpin desa, Eyang Sangkrah merasa bertanggungjawab atas nasib penduduknya. Berbagai ritual untuk memohon hujan dilakukan, tapi air tidak kunjung turun.
Eyang Sangkrah merasa sudah kehabisan cara. Eyang Sangkrah, tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika mandi di telaga Coban. Dia mengajak serta seekor kucing condro mowo piaraannya. Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turunnya hujan tak bisa menyembunyikan rasa memandikan kucing condro mowo”. Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk memandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing condro mowo. Lalu, dua ekor kucing itu dimandikan di telaga Coban. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai turun.
Berdasarkan sejarah awal ritual manten kucing dapat diketahui bahwa pada awalnya belum dikenal istilah ritual manten kucing di Desa Pelem. Istilah ritual manten kucing belum muncul pada zaman Eyang Sangkrah dan baru muncul istilah ritual manten kucing pada zaman Demang Sutomedjo. Suatu ketika Demang Sutomedjo mendapatkan wangsit untuk melakukan sebuah ritual ngadus kucing yang memiliki tata cara pelaksanaan. Dengan dasar wangsit itulah Demang Sutomedjo bersama-sama dengan perangkat desa dan masyarakat Desa Pelem melaksanakan ritual ngadus kucing.
Ritual mantem kucing yang dilakukan oleh Demang Sutomedjo kemudian terus dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pelem saat kemarau panjang melanda desa tersebut. Sejak saat itu masyarakat Desa Pelem memiliki sebuah ritual minta hujan yang unik karena hanya ada di Desa Pelem. Ritual ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Dalam upacara ini, sepasang kucing jantan dan kucing betina dipertemukan menjadi pasangan pengantin. Prosesi “Temanten Kucing” diawali dengan mengirab sepasang kucing jantan dan betina ,kucing warna putih yang dimasukkan dalam keranji. Dua ekor kucing itu dibawa sepasang  pengantin laki-laki dan wanita. Di belakangnya, berderet tokoh-tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa. Sebelum dipertemukan, pasangan “Temanten Kucing” dimandikan di telaga Coban. Secara bergantian, kucing jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi kembang. Usai dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan. Di tempat yang sudah disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing jantan dan betina itu „dinikahkan‟. Sepasang laki-laki dan perempuan yang membawa kucing, duduk bersanding di kursi pelaminan. Sementara dua temanten kucing berada di pangkuan kedua laki-laki dan wanita yang mengenakan pakian pengantin itu. Upacara pernikahan ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan sesepuh desa setempat. Tak lebih dari 15 menit, upacara pernikahan pengantin kucing usai. Lalu, prosesi “Temanten Kucing” dilanjutkan dengan pagelaran seni tradisional Tiban dan pagelaran langen tayub. Yang melakukan ritual Manten Kucing adalah para sesepuh Desa Pelem baik laki-laki maupun perempuan yang sudah tua dan berpengalaman. Dan yang membawa atau menggendong sepasang kucing tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih perjaka dan masih gadis. Sedangkan masyarakat lainnya seperti orang dewasa, para remaja dan anak-anak hanya turut menyaksikan dan mengarak pengantin kucing saja 
Berkaitan dengan kepercayaan yang dianut masyarakat Desa Pelem Kecamatan Campursarat Kabupaten Tulungagung, Upacara Temanten Kucing yang selama ini dilakukan mempunyai tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu Upacara Temanten Kucing yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Pelem digunakan sebagai sarana bagi masyarakat yang berharap agar Tuhan menurunkan hujan. Tradisi Temanten Kucing juga mempunyai nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan perlu dikembangkan, yaitu :
1)      Nilai Religius. Nilai religius itu tampak dengan jelas, karena pada dasarnya Upacara Temanten Kucing bertujuan untuk mengharapkan agar Tuhan menurunkan hujan. Sedangkan Upacara Temanten Kucing sebagai medianya.
2)      Nilai Gotong Royong. Dalam sistem nilai budaya orang Indonesia gotong-royong merupakan suatu hal yang tidak asing lagi, terutama pada masyarakat pedesaan. Praktek gotong-royong mewarnai hampir semua kegiatan dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana kodratnya bahwa t. Dalam kaitnnya dengan Upacara Temanten Kucing praktek gotong-royong tampak mulai dari persiapan sampai dengan pelaksanaan upacara. Upacara Temanten Kucing yang bersifat fisik hampir semuanya dilakukan dengan cara gotong-royong.
3)      Nilai Persatuan. Dalam Upacara Temanten Kucing rasa persatuan tampak sekali diperlihatkan oleh warga masyarakat Desa Pelem. Rasa persatuan ini tampak terjalin dengan baik antara sesama warga masyarakat. Tanpa adanya persatuan diantara warga masyarakat tidak mungkin Upacara Temanten Kucing dapat berjalan dengan baik. Bukti lain adanya nilai persatuan adalah pada waktu upacara selamatan. Dimana warga masyarakat berkumpul disuatu tempat untuk mengucapkan rasa syukur dan makan brekat/ambeng secara bersama-sama. Hal yang demikian menunjukkan keterikatan rasa solidaritas dan persatuan antara sesame warga masyarakat.
4)      Nilai Seni dan Keindahan. Hal ini tampak jelas pada saat warga masyarakat mengarak Temanten Kucing. Warga masyarakat memakai pakaian adat Jawa. Yang laki-laki menggunakan beskap dan yang perempuan menggunakan kebaya. Di samping itu nilai seni dan keindahan itu juga tampak pada berbagai macam kesenian yang disajikan seperti kesenian Langen Tayub dan Tiban.
Kebudayaan menurut Larry A. Samovar & Richard E. Porter adalah simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi. Dalam budaya Temanten Kucing ini, kita dapat menemukan konsep kepercayaan yang berupa akan turunnya hujan ketika melakukan ritual Manten Kucing tersebut. Tindakan berupa sikap dan tradisi  yaitu mengarak sepasang kucing beserta sepasang laki-laki dan perempuan yang menggendongnya, menikahkan dengan meletakkan sepasang kucing tersebut di pangkuan sepasang laki-laki dan perempuan yang menggendongnya secara berdampingan, memandikan sepasang kucing tersebut dan permainan gamelan yang mengiringi proses pernikahan sepasang kucing tersebut dan keseluruhan proses tersebut adalah hasil karya manusia yang diperoleh dari proses kebiasaan atau belajar. Konsep nilai juga terdapat pada ritual ini yang kaya akan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Konsep pengalaman juga terdapat pada sejarah Temanten Kucing yang berawal dari pengalaman Eyang Sangkrah yang akhirnya menemukan rtual ini.
Unsur-unsur yang membentuk budaya salah satunya adalah sejarah. Temanten Kucing juga tak lepas dari sejarah dan cerita legenda pada jaman dahulu.
Seni tradisi yang ada disetiap daerah, memang mempunyai ciri tersendiri serta merupakan identitas daerah tersebut. Menurut Larry A Samvor dkk dalam bukunya “Communication Between Cultures”, budaya dapat menjadi identitas. Identitas budaya merupakan adalah karakter khusus dari sistem komunikasi kelompok yang muncul dalam situasi tertentu. Situasi yang muncul dari ritual ini yaitu musim kemarau yang panjang sehingga masyarakat yang sebagian besar mata pencahariannya petani akan kesulitan sehingga muncullah tradisi ini dari pendahulunya.



Komentar

Postingan Populer